CERITA TENTANG SANAD KEILMUAN PESANTREN SARANG


CERITA TENTANG SANAD KEILMUAN PESANTREN SARANG, KH. MUHAMMAD NAJIH MAIMOEN: KITA HARUS TETAP MEMPERTAHANKAN NGAJI FIQIH

Demikian sebagian pesan utama yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad Najih ketika memberi mauizhah hasanah dalam acara Ta’aruf Ma’had Aly Iqna’ al-Thalibin beberapa waktu yang lalu. Beliau juga secara panjang lebar menjelaskan sanad dan perjalanan keilmuan pesantren Sarang yang berlaku terus-menerus hingga sekarang.

Pertahankan Ngaji Fiqih, Giatkan Ngaji Balaghah dan Manthiq

Di awal mula Abah Najih menyinggung bahwa meski di dalam Ma’had Aly banyak mempelajari kitab-kitab tasawuf, beliau tetap berharap ngaji Fiqih tetap harus

diramaikan dan dipertahankan begitu juga pengajian Nahwu, Sharaf, apalagi Balaghah dan Manthiq. Lanjut beliau:

“Kita didalam Ma’had Aly ini dominan mempelajari tasawuf. Adapun kultur ilmiah pesantren Jawa adalah ngaji Fiqih, Nahwu, dan Sharaf. Yang kurang adalah Balaghah dan Manthiq. Dulu saya pernah melihat santri Al-Anwar sebelum ke Makkah biasa musyawarah Syarh Sullam al-Munauraq, Syarh al-Jauhar al-Maknun, dan Fath al-Wahhab di zaman Kiai A’wani. Pengikutnya paling sekitar lima sampai enam orang. Dulu sebelum ada Muhadloroh enak bagi yang sudah pernah mondok di luar Sarang, yakni tidak ada kewajiban masuk MGS dan belum ada MHD. Akhirnya musyawarah dan ngaji harian banyak sekali. Setelah MHD ada maka kegiatan ini berkurang karena fokus sekolah kalau tidak MGS atau MHD. Akhirnya ngaji berkurang, anak juga agak malas baca Syarh al-Jauhar al-Maknun. Padahal kitab ini sangat penting, sebab di dalamnya banyak contoh-contoh dari Al-Quran Hadits dan juga pembahasannya ringkas. Kalau Syarh ‘Uqud al-Juman terlalu panjang apalagi nazhamnya.”

Banyak Ngaji Tasawuf Harus Disyukuri 

Lalu Abah Najih mengingatkan kepada para santri agar bersyukur kepada Allah Ta’ala karena diberi kesempatan untuk mengaji tasawuf sebagai obat hati.

“Kita di Ma’had Aly lebih ngaji tasawuf, tapi sebetulnya budaya ngaji tasawuf bagi santri kuno sudah biasa. Mbah Moen dulu sering ngaji tasawuf di waktu ekstra seperti saat libur Maulid dan Idul Adha seperti Minhaj al-‘Abidin, al-Nashaih al-Diniyyah, Risalah al-Mu’awanah, Syarh al-Arba’in, dan lain-lain. 

Walhasil, kita sekarang ada istilah Prodi Tasawuf. Ini kita diingatkan untuk bersyukur kepada Allah, semoga dengan ngaji tasawuf kita menjadi lembut hatinya -Amin- bukan keras hati dan tidak pernah menangis di hadapan Gusti Allah. Kebanyakan kita seperti itu. Hal ini sudah disitir dalam Al-Quran:

وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ [الحديد : 16]

“Jangan mereka (orang beriman) menjadi seperti orang-orang yang diberi kitab sebelum mereka lalu seiring berjalannya waktu lalu menjadi keras hati mereka dan banyak dari mereka yang jadi fasiq.” (QS. Al-Hadid: 16)

Ayat seperti ini seakan menyindir orang-orang yang tidak biasa dapat pitutur baik dia kafir atau pintar baca kitab namun jarang dapat pitutur. Ia lebih asyik dengan ilmu hukum, Ushul Fiqih, dst. Tapi maafnya, saya juga takut kalau ilmu Fiqih ini dihilangkan padahal ahlinya ulama Jawa itu setelah belajar Fath al-Wahhab dan Syarh al-Mahalli di Makkah.”

Sanad Keilmuan Pesantren Sarang

“Dulu yang awal mengajar Fath al-Wahhab adalah Kiai Hasyim Asy’ari, mungkin karena pernah ngaji di Makkah. Kemudian ini ditiru oleh Ploso dan Lirboyo karena pengasas keduanya yaitu Mbah Manaf dan Mbah Jazuli itu muridnya Mbah Hasyim. Adapun Sarang dulu juga mengaji Fath al-Wahhab di zaman Kiai Fathurrahman bapaknya Mbah Ali Masyfu’. Kalau ngaji Fath al-Qarib dan Fath al-Mu’in sudah biasa. Sarang mulai Mbah Zubair andalannya adalah Syarh al-Mahalli karena ngaji Mahalli adalah ajaran Syaikh Said al-Yamani. Beliau punya murid Mbah Zubair dan Sirojuddin Abbas yang termasuk pendiri Jamiah Al-Wasliyah dan pengarang buku 40 Masalah Keagamaan. Kiai Sirojuddin Abbas ngajinnya al-Mahalli, dan Mbah Zubair mungkin juga sama. Yang jelas beliau muridnya Syaikh Said al-Yamani. Zahirnya beliau pernah ngaji al-Mahalli walaupun kita tidak bisa memastikan. 

Saya pernah melihat sasakan Kiai Mahfuzh Termas, setahu saya dibawa Gus Nashiruddin Tambakberas. Sasakan ini dibuat ngaji Kiai Dimyati Termas yakni adiknya Kiai Mahfuzh. Kiai Dimyati enak karena dikirimi kitab Kiai Mahfuzh sekaligus makna-maknanya lengkap. Saya bayangkan bagaimana Kiai Mahfuzh masih sempat menulis sasakan, padahal beliau sibuk mengarang.”

Orang Paling Alim Sejawa adalah Kiai Mahfuzh Termas 

Abah Najih lalu menceritakan bahwa ulama Jawa paling alim adalah Syaikh Mahfuzh Termas. Tandas beliau:

“Setahu saya ulama paling alim se-Jawa adalah Kiai Mahfuzh Termas tapi beliau itu setengah laduni alias di luar nalar, sebab saya dapat cerita ada teman Kiai Mahfuzh pernah mendengar beliau bisa khatam Al-Quran antara Maghrib dan Isya’ saja. kiai Mahfuzh berkata bahwa dia boleh lihat untuk membuktikan namun harus dua orang saja, dan benar khatam. Ini termasuk karamah, menurut kebiasaan umum tidak mungkin itu.

Di Sarang saya pernah bertemu orang yang pernah men-tahqiq kitab Mauhibah Dzi al-Fadl Hasyiyah al-Syarh al-Hadlramiyyah karya Syaikh Mahfuzh. Ada lagi seorang muhaqqiq yang sekarang aktif di Jamiah Imam Syafi’i Cianjur, dia pernah mentahqiq karangan Syaikh Mahfuzh yang andaikan dibaca itu hebat. Pembahasannya lengkap tidak ada yang kurang. Laisa fiha syaridah wa la waridah illa katabaha. Pokoknya paling alim menurut saya adalah Syaikh Mahfuzh Termas.

Mbah Zubair ngaji kitab al-Mahalli dari Syaikh Said al-Mahalli, tapi juga ngaji di Syaikh Baqir al-Jugjawi. Syaikh Baqir muridnya Syaikh Mahfuzh Termas. Mbah Moen ngaji di Syaikh Yasin al-Fadani, dan Syaikh Yasin muridnya Syaikh Alawi al-Maliki, dan Syaikh Alawi muridnya Syaikh Mahfuzh Termas. AlhamduliLlah kita sanadnya dua. Saya AlhamduliLlah bertemu Syaikh Yasin beberapa kali, tapi saya mendapat ijazah di Jawa dua kali. Di Makkah bertemu namun tidak mengambil ijazah. Itu sanad yang menjadi andalan kita urusan Fiqih. 

Ayahanda Syaikh Mahfuzh Termas namanya adalah Kiai Abdullah bin Abdul Mannan. Beliau murid Syaikh Murtadla al-Zabidi. Ini sanad penting dalam tasawuf. Ada sanad lagi Mbah Moen dari Mbah Zubair, dari Syaikh Faqih Maskumambang, dari Syaikh Mahfuzh Termas. Kiai Faqih itu cerdasnya tidak karuan. Waktu penulis kitab I’anah al-Thalibin Kiai Faqih melihat kitab yang hebatnya seperti itu, lalu beliau ingin ke Makkah untuk ngaji pada pengarangnya yaitu Syaikh Bakri Syatha, namun sampai di Makkah Syaikh Bakri sudah wafat. Akhirnya beliau ngaji ke Syaikh Mahfuzh Termas.

Ada lagi cerita tentang Mbah Abdus Syakur ayah Mbah Fadhol Senori. Kita jarang yang ngaji pada Mbah Fadhol. Mbah Syakur aslinya adalah orang Sarang bahkan aslinya yang mengampu pondok Sarang zaman dulu. Beliau pindah ke Sedan, lalu pesantren dipegang oleh kita-kita ini. Termasuk penerus Mbah Syakur dahulu adalah Mbah Syu’aib, Mbah Ahmad, dll. Mbah Syakur sanadnya dari Kiai Nawawi Banten, konon beliau juga murid Syaikh Zaini Dahlan. Ini perlu dicek.”

Kiai Banyak Menulis itu Keturunan Keraton

“Kalau kita di Jawa kitab-kitab Kiai Nawawi Banten banyak yang tasawuf. AlhamduliLlah baru saja kita baca Syarh al-Hikam milik Kiai Nawawi cetakan baru artinya belum ada di pesantren. Ini merupakan anugerah dari Allah Ta’ala. Dhawuh Abah, kiai yang sering menulis itu pertanda dia keturunan keraton. Syaikh Abdus Syakur dan Mbah Fadhol karangannya banyak. Mbah Abdusyakur bin Mbah Muhsin. Mbah Muhsin menikahi priyayi yaitu putri keturunan keraton Solo. Kalau Kiai Nawawi jelas keturunan Sultan Hasanuddin Banten. Kiai Mahfuzh karangannya banyak barangkali karena dekat dengan Solo. Kemungkinan juga keturunan keraton. Kalau kiai Sarang asli tidak biasa menulis. Walhasil kita tidak membahas keraton, saya hanya ingin menunjukkan bahwa kita juga punya hubungan dengan orang-orang Jawa sendiri. Alhamdulillah.”

Syaikh Muhammad Ali al-Maliki

Abah Najih selanjutnya menceritakan tentang salah satu ulama Makkah yang dekat dengan ulama-ulama Jawa yaitu Syaikh Muhammad Ali al-Maliki. Cerita beliau:

“Kiai Mahfuzh Termas punya murid Syaikh Muhammad Ali al-Maliki guru Syaikh Yasin. Biasanya ulama Maliki fanatik dengan Madzhab Maliki, tapi karena beliau murid Syaikh Mahfuzh Alhamdulillah beliau akrab dengan orang Jawa. Beliau berasal dari Maroko. Ada yang menganggap beliau Sayyid tapi tidak disohorkan. Beliau pernah menulis Syarh Nazhm Safinah al-Naja karya Ahmad Qusyairi Pasuruan mertua Mbah Hamid Pasuruan. Syaikh Ali senang dengan orang Jawa. Saya pernah diceritani bahwa Syaikh Shodiq memuji Sayyid Muhammad Ali. Katanya tidak ada orang Makkah yang tidak mau dekat-dekat dengan Wahhabi seperti Syaikh Muhammad Ali al-Maliki. Tidak mau dekat dengan pemerintah. Kalau yang lain pernah menjadi qadli. Dia jelas mudarris di Masjidil Haram, dan disana tidak ada upahnya sama sekali karena dulu Saudi masih melarat. Kemudian beliau ikut mengajar di Madrasah Darul Ulum buatan orang Jawa. Beliau Alhamdulillah memberi barakah pada orang Jawa. Beliau pernah hijrah ke Jawa wsktu Wahhabi sedang ganas-ganasnya. Beliau punya murid di Ampenan Lombok NTT (TGB Muhammad Zainuddin Abdul Majid) yang punya Madrasah Nahdlatul Wathan.”

Niat Lillahi Ta’ala, Jangan Niat Ijasah

Setelah bercerita panjang lebar tentang biografi ulama yang berkaitan dengan pesantren Sarang, Abah Najih tidak lupa menekankan kepada para santri untuk selalu menata niat saat belajar.

“Kita harus bersyukur tapi Fiqih tetap diteruskan sebisanya. Orang kuno dan senior zaman dulu lebih alim Fiqih daripada kita karena mereka leluasa belajar Fiqih. Ma’had Aly dulu malah lebih leluasa sebenarnya, tapi sekarang dijadikan sistem akademis seperti ini. Monggo niat liLlahi Ta’ala. Jangan niat mencari gelar akademis dan ijasah, tapi niat ngaji. Kelihatan modern sedikit tapi tidak masuk dalam hati. Ikut dhawuh Mbah Moen: ‘alaikum bi al-syi’ar wa al-ditsar. Pakaian dalam adalah ngaji, pakaian luarnya adalah sekolahan untuk menutupi diri supaya tidak terlihat terlalu khusyu’ dan angker, akhirnya dijauhi orang dan dianggap kadaluarsa.

Saya ingatkan supaya ikhlas. Kita bersyukur bisa diingatkan terus dengan mauizhah-mauizhah dalam kitab-kitab tasawuf, akan tetapi fiqihnya tidak boleh hilang bahkan kalau bisa kita harus memahami kitab Ma’ani-Bayan-Badi’ supaya memahami keindahan-keindahan Al-Quran. Balaghah-balaghah yang ada di dalam Al-Quran Hadits perlu dipelajari agar kita tambah mantap dan yakin bahwa Al-Quran tidak bisa ditandingi baik dari segi bahasa, makna, barakah, angklek, bobot, dan wibawanya. Al-Quran sekarang hanya dibuat lagu-lagu, semaan, bahkan bisnis. Banyak orang menghafal Al-Quran supaya punya pondok Tahfizh. Yang hafal Al-Quran dikasih uang sejuta. Cari uang dari pemerintah bahkan juga dari luar negeri. Inna liLlahi wa inna ilaihi raji’un. Yusuf Mansur punya gitu-gituan seperti dapat kualat karena bela orang fasik yang pro Cina. Monggo kita waspada liLlahi Ta’ala. Al-Quran harus dikuatkan walaupun tidak hafal. Umpama hafal harus niat liLlahi Ta’ala.

Doakan agar bangunan yang baru bisa cepat selesai dan bisa untuk ruang belajar untuk kita Ma’had Aly dan MHD, disamping juga untuk shalat agar seperti kiai Rouf tadi tidak tidur-tiduran. Memalukan seperti orang primitif saja. Masa’ tidak pernah mendengar omongan jenderal Yahudi? Dia melihat orang shalat Jum’ah ramainya seperti itu, andaikan umat Islam shalat subuhnya seperti shalat Jum’ah kita pasti kalah. Kok Yahudi sampai mengerti hal seperti itu pasti ilmunya bukan ilmu militer saja namun juga punya ilmu keagamaan. Ini khasiatnya shalat shubuh berjamaah. Ramai itu khasiatnya besar sekali, disamping juga sehat seperti org olahraga dan doa dalam qunutnya yang luar biasa. 

Kemarin Said Aqil bilang:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ [النحل : 43]

Ayat ini menurut dia jika diartikan bertanya pada orang yang ahli kitab salaf dan kiai adalah keliru, namun yang benar itu bertanya pada Yahudi dan Nasrani urusan kebenaran. Ini sesat. Kita disuruh tanya Yahudi Nasrani urusan akidah, lak nanti jadi Yahudi Nasrani. Fas’aluu itu ditujukan pada kafir Quraisy bahwa jika mereka tidak mengerti sifat-sifat nabi yang diutus maka disuruh bertanya pada Ahli Kitab.

Sekarang mengapa ayat ini jadi dalil dalam kitab-kitab ulama bahwa kita wajib taklid Madzahibul Arba’ah atau meminta fatwa ulama? Maka kita jawab bawah ini diqiyaskan. Kalau urusan sejarah kuffar Makkah disuruh tanya pada ulama Ahli Kitab, sedangkan kita umat Islam jika tidak tahu soal hukum disuruh tanya pada ahli ijtihad, dan ijtihad yang terkodifikasi dengan lengkap tinggal empat. Atau bisa kita katakan umum. Khitabnya pada kuffar Makkah, tapi bahasannya umum bahwa orang bodoh disuruh bertanya pada orang pintar. Tapi bukan berarti orang Islam bertanya kepada Yahudi Nasrani. Ini kesesatan. Kita sudah tauhid kok tanya orang yang sesat, maka nanti disesatkan seperti mereka sendiri.”(*)

Source : https://ribathdeha.wordpress.com/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CATATAN NGAJI AHADAN KITAB TAFSIR JALALAIN[S urat Al-Isro' ayat 9-27]

Taujihat Pembukaan Pengaosan Shohih Bukhori

Kutipan Mauidhoh HBH IKSAPAS 1445